Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ilkom UMS) Sidiq Setyawan, S.I.Kom., M.I.Kom. Foto: Ist
SOLO – Dosen Ilmu Komunikasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ilkom UMS) Sidiq Setyawan, S.I.Kom.,
M.I.Kom turut menyoroti Revisi Undang-undang Kepolisian Republik Indonesia atau
RUU Polri. Sebelumnya, RUU Polri menuai sejumlah kritik dari masyarakat.
Bersamaan dengan penolakan
UU TNI 2024, penolakan RUU Polri terus berlangsung hingga masyarakat juga
melakukan aksi damai “camping” di depan gedung DPR RI. Tidak hanya itu,
komunitas digital juga bergerak meramaikan aksi penolakan dengan menyebarkan
hastag atau tagar #TolakRUUPolri.
Memahami RUU Polri, Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memberikan catatan kritis terhadap
beberapa pasal RUU Polri yang dinilai bermasalah. Salah satu pasal yang jadi
sorotan adalah Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) yang memberikan kewenangan untuk
melakukan pengamanan, pembinaan, dan pengawasan terhadap ruang siber.
“Kewenangan atas Ruang
Siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan
memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan keamanan dalam negeri,” dikutip
dari laman PSHK.
Sidiq Setyawan memberikan
penjelasan terkait dengan definisi ruang siber. Ruang siber sering juga merujuk
pada perangkat keras dan lunak yang berada pada lingkup internet.
“Secara khusus ruang siber
adalah pertukaran informasi dalam bentuk data. Contoh yang paling lazim saat
ini salah satunya adalah media sosial,” katanya melalui siaran pers Humas UMS, Senin
(21/4/2025).
Dia mengaku untuk
implementasi dari Pasal 6 huruf F yang menyebut teritorial Polri adalah Ruang
Siber, masih belum dapat ia pahami.
“Namun sebagai penegak
hukum, tantangan kepolisian adalah pada aspek hukum seperti penipuan online,
penyebaran data pribadi dan sebagainya,” kata dia.
Sidiq menilai, dengan
adanya ruang siber, tawaran interaksi di dunia maya begitu luas dan cenderung
tidak terbatas. Selain itu, adanya bentuk prosumsi membawa kita pada era
produksi pesan yang terus berulang setiap detiknya.
“Jadi selama tidak ada
upaya pembungkaman kebebasan berbicara dan partisipasi online di ruang siber,
kebebasan berpendapat akan selalu terjaga,” tambahnya.
Menyoal tentang kaitan
Pasal 16 RUU Polri yang memungkinkan tumpang tindih dengan UU ITE
(Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik), Sidiq menyampaikan bahwa
dalam aspek partisipasi online, beberapa kasus UU ITE menjadi bumerang bagi
kebebasan berpendapat.
“Fungsi Polri seperti
tersebut dalam pasal terkait selama tidak ada upaya mengancam kebebasan
berpendapat saya pikir internet harus menjadi ruang aman bagi partisipasi
online. Kita tentu saja melawan segala bentuk dominasi kekuasaan yang represif
dan mengganggu kebebasan berpendapat,” terangnya.
Berbicara tentang
tantangan kebebasan berekspresi di media sosial, menurutnya tantangannya sangat
kompleks dimulai dari kemampuan membedakan disinformasi dan misinformasi
sebagai produsen dan konsumen pesan, tantangan represif dari pihak yang
mengancam kebebasan berbicara, dan tantangan infrastruktur yang belum merata di
wilayah tertentu, serta sikap apatisme pada isu-isu yang memiliki kepentingan
pada masyarakat luas.
Dosen Ilkom UMS itu
mendorong untuk melakukan aktivisme digital yang memberikan dampak nyata
seperti revolusi hastag, gerakan BDS (Boikot, Divestasi, Sanksi) pada produk
terafiliasi zionis, dan sebagainya. Menurutnya, perlu diberikan pemahaman dan
dorongan bahwa dengan aktivisme digital di ruang siber akan mampu menggerakan
masyarakat secara kolektif pada isu isu kemanusiaan yang konkret dan berdampak
dan masyarakat dapat mengambil perannya.
“Sekali lagi internet
seharusnya adalah ruang aman bagi kita berpendapat dan berdiskusi,” pungkasnya.