Pakar Hukum Perlindungan
Saksi dan Korban dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr. Muchamad
Iksan, S.H., M.H. Foto: Ist.
SOLO – Pakar Hukum
Perlindungan Saksi dan Korban Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr.
Muchamad Iksan, S.H., M.H ikut angkatm suara mengenai kasus dugaan eksploitasi
terhadap eks pemain sirkus di Taman Safari Indonesia. Ia menilai pentingnya
langkah cepat dan penyidikan mendalam oleh aparat penegak hukum untuk
mengungkap fakta hukum di balik peristiwa tersebut.
“Yang pertama harus
dilakukan adalah penyidikan yang mendalam. Kita tidak bisa terlalu jauh
menyimpulkan sebelum aparat kepolisian bekerja berdasarkan bukti-bukti,” ujar
Iksan, Jumat (25/4/2025).
Ia menegaskan, kasus yang
menyangkut anak-anak dan orang dewasa harus dilihat melalui dua pendekatan
hukum yang berbeda, yakni Undang-Undang Perlindungan Anak dan KUHP.
Menurutnya, apabila korban
masih di bawah umur saat kejadian berlangsung, maka Undang-Undang Perlindungan
Anak harus dijadikan rujukan utama. Bentuk eksploitasi yang dimaksud bisa
mencakup kekerasan fisik, seksual, maupun eksploitasi ekonomi. Sementara itu,
jika korbannya sudah dewasa, KUHP bisa dikenakan dengan pasal-pasal terkait
penganiayaan atau perampasan kemerdekaan.
Terkait perlindungan
terhadap para korban dan saksi, Iksan menjelaskan bahwa Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban memberikan sejumlah hak, seperti pendampingan
hukum, tempat tinggal sementara, bahkan ganti rugi berupa restitusi dari pelaku
atau kompensasi dari negara. Namun, hak-hak ini hanya berlaku setelah adanya
keputusan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“LPSK bisa memberikan
perlindungan baik berdasarkan permintaan korban, penyidik, jaksa, maupun atas
inisiatif sendiri, apalagi kalau kasusnya sudah viral dan dinilai penting,”
jelasnya.
Menurutnya, langkah ini
perlu ditempuh jika ditemukan indikasi eksploitasi sistematis terhadap pekerja,
terutama anak-anak yang masih rentan secara hukum dan sosial.
“Perizinan harus disertai
dengan evaluasi berkala. Jangan sampai niat menghibur justru membuka ruang
terjadinya pelanggaran hukum dan pelanggaran hak asasi manusia,” tegasnya.
Menurutnya, pemerintah
harus lebih proaktif dalam memverifikasi pelaksanaan izin dan mengawasi
rekrutmen serta perlakuan terhadap pekerja seni pertunjukan. Sebagai penutup,
Iksan berharap agar kasus ini tidak berhenti pada simpati publik di media
sosial saja.
“Jika ada unsur pidana,
maka aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti. Eksploitasi terhadap manusia,
apalagi anak-anak, adalah pelanggaran serius yang tidak boleh dibiarkan,”
pungkasnya.