SOLO - Pimpinan Cabang
Muhammadiyah (PCM) dan Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (PCA) se-Solo Raya menggelar
Pengajian Ramadan, Minggu (23/3/2025). Pengajian dilaksanakan di Gedung
Edutorium KH Ahmad Dahlan UMS.
Ketua PDM Solo, KH. Drs.
Anwar Sholeh, M.Hum menyampaikan terima kasihnya kepada Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS) yang menjadi tuan rumah, sekaligus mengakomodir
segala fasilitas untuk kegiatan pengajian ini.
Pengajian ditujukan agar
warga Muhammadiyah, khususnya se-Solo Raya agar mendapatkan penguatan dan
pengetahuan yang berkaitan dengan kemajuan Muhammadiyah, seperti ideologi,
politik, dan organisasi (ideopolitor) Muhammadiyah.
“Terima kasih Pak Rektor
dan seluruh jajaran UMS atas kesetiaannya. Pokoknya memang kalau di tempat UMS
itu semuanya beres,” kata Anwar Sholeh.
Ia juga berterima kasih
kepada Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah atas penyelenggaraan
ideopolitor hari ini secara serentak di seluruh Jawa Tengah.
Wakil Ketua PWM Jawa
Tengah Prof. Dr. Muhammad Abdul Fattah Santoso, M.Ag menyampaikan bahwa kita
harus bersyukur karena pada hari datang untuk melaksanakan salah satu tugas dari
wahyu pertama dari Allah SWT kepada Rasulullah SAW, yaitu untuk membaca.
Membaca tidak hanya membaca teks, tetapi membaca situasi, gejala, fenomena.

Persoalan Wasathiyah
secara praktik sudah dilakukan oleh Muhammadiyah sejak berdirinya organisasi.
Seperti dengan penerimaan kearifan lokal di dalam bermuhammadiyah untuk menjadi
bagian dari Wasathiyah atau tengahan.
“Kalau kita lihat dari
foto-foto pimpinan Muhammadiyah di masa lalu maka mereka masih bersarung, masih
memakai jas. Di situ kita bisa melihat bagaimana Muhammadiyah awalnya dari segi
perilaku yang diterapkan itu menunjukkan wasathiyah atau tengahannya, termasuk
menghadapi modernitas dan menghadapi penjajahan Belanda,” kata Muhammad Abdul
Fattah Santoso.
Namun praktik tersebut,
lanjutnya, ternyata tidak pernah dirumuskan sehingga baru dirumuskan dalam
Risalah Islam Berkemajuan yang merupakan keputusan dari Muktamar ke-48 di Solo.
Tugas lain dari warga
Muhammadiyah adalah menyiapkan diri untuk menjadi wasathiyah yang artinya juga
unggul, yang diilhami dari QS Al-Imran ayat 110. Dia juga menyampaikan sikap
yang harus dimiliki warga Muhammadiyah adalah sikap seimbang.
“Sikap seimbang itu harus
ada di dalam diri kita, yaitu seimbang antara kehidupan individual dan
kehidupan masyarakat. Yang kedua, keseimbangan lahir dan batin, dan yang ketiga
keseimbangan duniawi dan ukhrawi,” kata dia.
Dalam hal penerimaan
eksternal, wasathiyah itu artinya menolak ekstrimisme yaitu tidak ekstrim kanan
atau kiri. Selain itu, wasathiyah juga dimaknai untuk tidak ultra konservatisme,
dan tidak ultra liberalisme. Artinya, tidak menjadi kelompok yang
mempertahankan tradisi dengan sedemikian kuat sampai melupakan perubahan. Di
sisi lain juga tidak ultra liberalisme, atau menjadi kelompok yang sangat
liberal.
Kemudian Fattah juga menyebutkan
arti lain dari wasathiyah yang maknanya boleh untuk tidak toleran yaitu boleh
untuk tidak toleran ke pihak luar.
“Kapan kita boleh tidak
toleran, satu yaitu ketika kita berhadapan dengan sekularisme politik,” kata
dia.
Selain itu, tidak boleh
toleran kepada persifisme moral atau tidak peduli dengan dekadensi moral.